Ketika Peradaban Kehilangan Ruhnya. Sebuah Renungan

Ketika Peradaban Kehilangan Ruhnya. Sebuah Renungan

Mari kita hening sejenak, merenungi satu kata yang begitu agung: peradaban. Kata itu terdengar megah, seolah menghadirkan bayangan kota-kota besar, menara yang menjulang, serta capaian manusia yang menakjubkan. Namun jika kita bedah pelan-pelan, ternyata ia bertumpu pada sebuah jiwa kecil yang sederhana: adab.

Hanya satu suku kata itu—adab—yang menjadi ruh dalam bangunan besar bernama peradaban.

Saya pernah mencoba meraih jiwa kata ini, ketika hampir menjadi bagian dari Fakultas Adab di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Meski hanya sebentar, namanya tetap melekat kuat di hati saya. Adab bukan sekadar disiplin ilmu seperti Sastra Arab atau Sejarah Kebudayaan Islam, melainkan payung besar yang meneduhkan. Dan setiap kali saya mengingatnya, hati saya kembali merenung.

Di luar tembok kampus pun, kata ini tetap hidup. Ia hadir dalam kehidupan kita yang paling sederhana. Ketika melihat seseorang berperilaku kasar, spontan kita bergumam: “Kurang ajar, kurang adab.” Seolah tanpa sadar, kita semua sepakat bahwa adab adalah ukuran paling dasar dari kemanusiaan. Ia adalah benteng pertama sebelum segala ilmu dan kecanggihan.

Namun di sinilah letak kegelisahan saya. Dalam wacana dunia modern, kata peradaban sering dikerdilkan menjadi sekadar urusan zaman, kemajuan teknologi, atau penemuan material. Kita terpesona pada gedung-gedung tinggi dan algoritma canggih, tetapi melupakan ruh yang seharusnya menghidupinya.

Padahal, Rasulullah SAW mewariskan kepada kita fondasi yang jauh lebih kokoh: akhlak mulia. Sebuah peradaban tidak hanya dibangun dengan otak, tetapi dengan hati. Tidak sekadar logika, tetapi juga kasih sayang. Inilah warisan teragung: panduan untuk membangun dunia yang bukan hanya memukau mata, tetapi juga menentramkan jiwa.

Karena itu, apa gunanya menembus angkasa jika kita gagal menyayangi tetangga? Apa artinya teknologi yang merusak bumi dan menindas sesama, sementara kita tuli terhadap jeritan yang terzalimi? Semua kejayaan itu hanya ilusi—megah di luar, rapuh di dalam.

Maka pertanyaan sejati bukanlah “peradaban seperti apa yang ingin kita bangun?”
Melainkan: “masih adakah adab di hati kita untuk membangunnya?”

Sudah saatnya kita kembalikan jiwa itu pada setiap bata yang kita susun. Membangun bukan sekadar untuk dipamerkan dunia, melainkan demi ridho-Nya. Rasulullah menata Madinah bukan dengan beton dan baja, melainkan dengan akhlak. Dari sanalah lahir generasi madani, yang kepribadiannya memancarkan cahaya, mulia di hadapan Allah dan manusia.

Sebab peradaban sejati sesungguhnya lahir dari keheningan hati—jauh sebelum kata adab itu terucapkan.

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url