Hasbiyallah - Bagian ke-3 - Tuan Dunia atau Budak Dunia?

Hasbiyallah - Bagian ke-3 - Tuan Dunia atau Budak Dunia?_diujungzaman

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Review tulisan sebelumnya:
Yang terbakar dari diri Nabi Ibrahim cuma ikatan tambang di tangan dan kaki. Kenapa Nabi Ibrahim dibantu oleh Allah hingga api itu jadi dingin? Karena Nabi Ibrahim merasa cukup hanya dengan Allah semata hidupnya. Ketika manusia tidak merasa cukup membantu lalu siapa yang memberikan kecukupan?


Kan tidak ada lagi yang memberikan kecukupan. Hanya Allah sajalah yang memberikan kecukupan, namun manusia tidak menyadari meskipun bisa mengakui apalagi harus membuktikan. Manusia cenderung lebih suka memutuskan segala sesuatu dengan memainkan logikanya. Manusia lebih berpihak kecenderungannya kepada proses dari sebab ke akibat bukan kepada pemilik sebab dan akibat yaitu Allah.

Manusia merasa kesulitan membuktikan siapa sesungguhnya yang mengurus dalam hidup manusia. Satu contoh, ada itu tidak selalu ada, kondisi ada tidak selalu ada dan terjadi. Sekali waktu dalam kondisi tertentu kita tidak kebagian nasi. Jika kondisi itu terjadi janganlah diambil pusing, sebab kondisi kekurangan makanan sudah membuat pusing, jangan ditambah lagi dengan penolakan atau tidak menerima terhadap kondisi kekurangan makanan. Ya jadi tambah pusing.

Bukankah yang memberikan kecukupan itu hanya Allah? Dan Allah memberi kecukupan bukan pada masalah banyak atau sedikitnya materi makanan, namun hasil atau dampak yang dibutuhkan dari proses makanan setelah dikonsumsi, yaitu kekuatan dan rasa. Oleh karena itu jangan sekali-kali mengatakan cukup ketika makanan yan dibutuhkan secara material banyak, namun rasa syukurlah yang terlebih dahulu harus didahulukan, agar Allah merasa senang,

Dan kita harus mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan mencobanya, sebab, banyak dan sedikit bukan menjadi ukuran bagi kita karena Allah tidak mengukur dari banyak dan sedikitnya jumlah atau kuantitas makanan untuk memberikan kecukupan kepada seorang hamba. Secara kuantitas mencukupi tapi adakalanya kita melihat tidak mencukupi. Oleh karena itu katakan “cukup”, agar kondisi itu tidak akan pernah berkurang.

Hanya saja manusia seringkali merasa tidak cukup walaupun sudah ditambah lagi dengan rezeki yang semakin melimpah ruah, tetap saja tidak cukup. Itulah sifat dunia yang tak ada bedanya seperti api yang selalu membakar dan terus menimbulkan rasa haus yang tidak pernah berhenti.

Padahal sejatinya kita hanya membutuhkan sesuatu kalau sesuatu itu memang menuntut untuk ada dan dibutuhkan. Namun jika batasan itu dilanggar maka yang terjadi adalah penghamburan, mubazir, pemborosan uang, lahan, waktu dan segalanya, tidak ada sedikit pun nilai yang bermanfaat dan mewujudlah mereka menjadi saudara-saudara setan.

Dan syetan adalah penghuni neraka, kalau syetan masa saudaranya tidak?. Dan justru syetan menginginkan banyak saudara, padahal syetan itu musuh manusia. Tapi mengapa banyak manusia mau menjadi saudaranya? Supaya tidak menjadi saudara syetan maka jangan sekali-kali memiliki kecenderungan pada hal-hal yang bernuansa tabdzir atau mubadzir yang jelas-jelas tidak ada nilai manfaatnya.

Harus diakui bahwa manusia membutuhkan dunia, tapi itu pun kalau sifatnya menuntut atau sesuai dengan tuntutan, sesuai dengan kondisi. Kalau kondisinya menuntut seseorang harus mempunyai mobil, belilah kalau punya uang untuk membelinya. Dan persoalan dari kata menuntut itu harus jelas permasalahannya yaitu untuk kepentingan Allah atau agama. Dan ketika bicara agama tidak pernah ada bagian yang mubadzir. Namun seringkali manusia lebih mendahulukan hawa nafsunya bukan kepentingan agamanya maka yang terjadi kemudian adalah sisi mubadzirnya, bukan manfaatnya.

Lalu kenapa dan ada apa dengan gaya hidup orang muslim? yang melakukan ibadahnya tapi bernuansa bisnis, yang ibadah dilakukan hanya untuk meraih kesuksesan dunia?

Jika ini yang terjadi, ingatlah bahwa Allah akan memberikan apa yang dia butuhkan, tapi jangan pernah sekali-kali meminta keridhoan, ketenangan hidup, dan kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab semua yang diamanatkan Allah harus ternikmati dan terasa benar kenikmatannya,

Maka apakah sebenarnya yang kita inginkan? Apakah menjadi tuan dunia atau budak dunia? Kalau kita bersyukur, percayalah, sungguh dan niscaya akan ditambah kenikmatannya, baik nikmat luar dan nikmat dalam, secara kuantitas bertambah kualitas kenikmatannya, juga bertambah kuantitas materinya.

Manusia menginginkan untuk memperoleh kedua kenikmatan baik materi maupun kualitas kenikmatannya, dan itulah yang disebut dengan bersyukur. Karena syukur dalam level ini adalah ketulusan dalam melewati apa pun. Bersyukur harus disertai dengan ketulusan. Rasa syukur tidak akan sempurna tanpa ketulusan.

Dan pada momentum bulan suci Ramadhan, kita sedang berupaya meningkatkan rasa syukur kepada Allah di bulan suci Ramadhan, dibantu oleh Allah ditunjang dengan keberkahan bahkan suasana batiniah pada saat Ramadhan sangat berbeda dengan di luar bulan Ramadhan.

Ini tangga ketawakalan yang Rasulullah ﷺ amalkan dalam keseharian yang tertera dalam Qs. At-Taubah. Jadi isinya dengan fattakhidzhu wakiila adalah Hasbiyaallah wa ni’mal wakil, kalau mengulang-ulang kalimah tahlil itu sudah tahap mahabbah kalau dibuktikan tapi ada yang lebih tinggi dari itu yaitu ‘Laa Ilaha illaa huwa’, apakah perlu diucapkan? tidak perlu karena isinya adalah Hasbiyaallah wa ni’mal wakil.

Namun ternyata setelah permasalahannya dianalisis, bagaimana perjalanan menuju kalimah thoyyibah Hasbiyaallah wa ni’mal wakil ternyata berat sekali kalau tidak ada proses pembelajaran terus menjalani hidup, meningkat-meningkat kecintaan kepada-Nya semakin berat masuk ke level ini.

Semakin Nampak kesanggupan dan keridhaan dan selalu dihamparkan ketulusan dalam menyikapi problematika hidup dan selalu bersyukur dalam berbagai keadaan, itulah perilaku orang-orang dewasa, itulah hamba-hamba Allah yang dewasa. Mau semuanya berusaha? Kalau mau berusaha, Allah akan membantu, kalau enggan berusaha Allah akan membiarkan.

Kalaulah Allah menimpakan suatu bahaya/ kemudharatan maka tak ada seorangpun yang bisa membuka/melepaskan bahaya atau mudharat itu, lalu siapa yang akan membuka atau melepaskan dari masa-masa yang sangat kritis dari kemungkinan menurut pertimbangan logika manusia sangat sulit dan mustahil untuk lepas dari bahaya itu. Semuanya sudah menyatakan angkat tangan yang menunjukkan ketidaksanggupan. Lalu siapa yang merasa mudah membuka bahaya itu? tidak ada, kecuali Dia semata.

Oleh karena itu, jangan menutupi pikiran kamu jangan terus terbelenggu oleh kekhawatiran yang menggebu-gebu, jangan terus bertambah rasa takut semakin mendera. Semakin rapat bahaya itu bukan semakin membuka, ketika diposisikan kepada sebuah kondisi yang menurut akal manusia dan pengalamannya bahkan dikumpulkan para ahli untuk memecahkan kondisi ini supaya keluar dari situasi yang teramat kritis ini tetap saja tidak ada yang bisa ternyata cuma Allah yang bisa membuka.

Apakah itu teramat berat dan sulit menurut manusia? Atau mudah? Atau bagaimana pun semuanya di mata Allah mudah?. Apakah kita bisa menumbuhkan suasana itu? Kalau kita tidak lari menuju kepada Allah, lalu mau lari kemana?
bersambung ........

Wallahu a'lam bishshawwaab

Bandung, 13 Juni 2020
Penulis : Adam Qosim Kosasih Natsir | Editor: Madyo Sasongko

Silakan bagikan tulisan ini di akun sosial media Anda supaya teman-teman Anda juga bisa mendapatkan manfaat yang sama

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Hasbiyallah - Bagian ke-3 - Tuan Dunia atau Budak Dunia?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

top