Hasbiyallah - Bagian ke-2, Kecintaan Nabi Ibrahim Kepada Allah

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Hasbiyallah - Bagian ke-2, Kecintaan Nabi Ibrahim Kepada Allah

Review tulisan sebelumnya:
Isyarah ‘Rabbul masyriqi wal maghribi’ ini adalah pintu pertama yang harus bisa ditembus masuk ke dalamnya lalu kamu terus berjalan melewati berbagai problema keseharian, cita-cita, apa saja yang didambakan, kecenderungan, gaya hidup, harus selalu adanya sebuah kesanggupan untuk bisa mengakui Allah sebagai Rabb.


Untuk sanggup membuktikan bahwa pernyataan kesanggupan itu harus terus meluncur kepada pembuktian. Kesanggupan diurus Allah terhadap apapun yang Allah timpakan baik ataupun buruk, kecepatan seorang mukmin untuk mendahulukan ketulusan dan keridhaan di dalam keseharian, ia terus berjalan dan berjalan menyikapinya bagaimana supaya Allah tidak tersinggung bisa kita upayakan untuk menjaga perasaan-Nya.

Supaya apa yang kita dambakan pun, keinginan hidup untuk selalu diridhai karena justru dari pintu Rububiyyah lah masuk ke tahap-tahap awal pintu keridhaan Allah. Kalau ini terus dilakukan dan terus dijalankan yang pada akhirnya masuk ke pintu kedua dari Rububiyyah, yaitu pintu Uluhiyyah.

Boleh jadi ketika berjalan melewati pintu Rububiyyah masih terjadi dan seringkali kita berbuat syirik kepada Allah, kita mengangkat segala keinginan sebagai Tuhan kita, kita mengangkat dunia sebagai Tuhan kita dan kita ridha didominasi oleh dunia sekalipun, dan realitas itu adakalanya terjadi.

Tetapi kalau kita terus menyatakan kesanggupan demi kesanggupan dan menjaga sedemikian teliti, terampil dan cermat bersikap melewati berbagai macam persoalan, terlebih karena "hidup" sendiri adalah persoalan baru akan masuk ke pintu Uluhiyyah.

Hanya pintu Uluhiyyah yang sekarang ini bukan pintu uluhiyyah yang biasa-biasa, yang sering diucapkan orang ‘Laa Ilaha illallaah’ diucapkan saja tanpa ada apa-apa. Walau demikian hanya dengan menyebutkannya saja, jaminannya dari Allah, dibangunkannya dari tempat tidurnya, yaitu kuburan pada Yaumul Ba`ats maka terang benderang wajahnya.

Ini bukan ‘Laa Ilaha illallah’ lagi tapi untuk level berikutnya. Kalau tadi kita sudah bisa meraih seandainya kecintaan kita kepada Allah sudah didapat tapi terus berjalan dari mencoba dan mencoba menumbuhkan kesanggupan dan ber-Ilah setotal mungkin berikutnya masuk ke level kecintaan yang lebih jauh lagi kepada Allah, yang lebih istimewa daripada kecintaan sebelumnya yang menjadi dambaan kaum muhibbin, yang begitu gemar serta tidak pernah merasa bosan mengucapkan dan membicarakan tentang Allah.

Karena cinta selalu ditandai dengan obrolan-obrolan, topik pembicaraan keseharian hanya Allah yang menjadi bahan pembicaraan. Begitulah sifatnya cinta. Kenapa kecintaan yang harus diraih manusia? Harus bisa mencapai pada level yang lebih tinggi lagi yang diisyaratkan dengan kata ‘Laa Ilaha illaa huwa’, tidak ‘Laa Ilaha illallaah’.

Ini modal yang sangat vital, modal dikumpulkan untuk bahan disetorkan. Kalau dulu boleh jadi modalnya pas-pasan, maka pendapatannyapun sesuai, jangan punya pikiran menginginkan keuntungan yang lebih besar dengan modal sedikit. Karena itu bagi orang yang sangat cermat dan pintar serta memiliki kecerdasan dan punya bobot besar, sedikit beramal tapi membuahkan nilai yang besar. Apa itu? Itulah Ilmu.

Makanya kita semua disekolahkan supaya memperoleh dan mendapatkan ilmu, sedikit modal keuntungan besar. Ah, itu tidak logis. Kata siapa tidak logis? Justru sangat logis karena Allah menjamin semua kebutuhannya tanpa manusia tahu dari mana Allah menyediakannya.

Jika kita makan sepiring maka keluarnya cukup, tapi jika yang masuknya sedikit tapi keluarnya cukup banyak, ini darimana yang banyak itu?

Makan sedikit tapi bisa kuat melewati kebiasaan umumnya manusia. Jadi kebutuhan yang justru yang lebih tahu dari manusia, yaitu Allah. Zat-zat yang sangat penting yang tidak ada di muka bumi ini diberikan oleh Allah.

Kalau itu sudah dilewati dan betul-betul si hamba bisa membuktikan bahwa sesungguhnya yang jadi "Ilah" itu cuma Allah semata di dalam hidupnya, ia buktikan secara nyata tidak lagi terjadi satu bentuk pun kecenderungan yang mengalahkan kecenderungannya kepada Allah. Juga tidak terjadi sebuah kondisi didominasi hawa hafsu dunia yang mengalahkan hasrat kecintaan kepada Allah.

SEMAKIN BESAR SEORANG HAMBA MENCINTAI ALLAH, MAKA SEMAKIN KECIL NILAI KECINTAAN SI HAMBA KEPADA DUNIA. Boleh jadi sebelumnya manusia jadi budak-budak dunia/hamba-hamba dunia, hamba uang, yang namanya hamba ia sujud terhina di hadapan dunia karena Tuhannya adalah dunia.

Maka menghilangkan sisi penghambaan kepada dunia itu bukan perjuangan sebentar, bukan persoalan yang mudah namun itu sangat berat, ia membutuhkan waktu yang panjang, membutuhkan ilmu pengetahuan, diuji dengan tantangan, dicoba dengan godaan, dihantam dengan gangguan.

Karena tanpa nilai uji bagaimana seorang guru bisa memberikan nilai berapa, apakah A itu aksen, atau B, C atau D atau lebih rendah lagi BL (belum lulus) kalau ini harus diulang. Kalau nilai banyak BL (Belum Lulus)-nya maka ia gagal jadi manusia. kita menginginkan nilai terbaik, rata-rata 9 paling tidak rata-rata 8, 9-nya banyak, angka 10-nya banyak walaupun berderet B-nya, itulah kehidupan.

Oleh karena itu
فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
fattakhidzhu wakiila, jadikanlah Dia (Allah) sebagai wakil,

Proses menuju satu pembuktian bahwa kita merasa sebagai hamba yang memiliki kesanggupan dalam hidupnya bersikap totalitas kepada Allah sebagai wakil, itu untuk level kecintaan yang lebih tinggi lagi bukan ‘Laa Ilaha illallaah’ tetapi ‘Laa Ilaha Illaa huwa’.

Di kala ia mengucapkan Hasbiyaallah wa ni’mal wakil sekali saja cukup sebagaimana Nabi Ibrahim ketika mau dilemparkan oleh Raja Namrud ke dalam api yang sebelumnya datang Jibril AS disuruh Allah untuk menguji Nabi Ibrahim, Jibril AS berkata “ya Ibrahim butuh pertolonganku tidak?”, Nabi Ibrahim menjawab “Hasbiyaallah wa ni’mal waqil “, Jibril AS berkata “Alhamdulillah” lalu ia pergi kemudian hilang.
Semua orang tahu ketangguhan keilmuan Jibril AS yang diberikan Allah yang dengan sayapnya alam semesta tertutup, makanya Rasulullah ﷺ sampai terjatuh pingsan waktu beliau sedang di pasar karena kaget melihat sosok Jibril AS. Hanya dengan sayapnya gelap bumi ini apalagi dengan badannya.

Apakah Nabi Ibrahim mengetahui keilmuan, kegagahan, keperkasaan Jibril AS yang Allah berikan? Nabi Ibrahim AS mengetahuinya, tetapi Nabi Ibrahim tidak membutuhkannya tetapi ia membutuhkan pertolongan dari pemilik JIbril AS, yaitu Allah, akan tetapi kalaupun Nabi Ibrahim minta pertolongan Jibril AS dosa tidak?

Tidak, tetapi bagi Nabi Ibrahim yang sedemikian dalam bergantung totalitas kepada Allah dengan diwakili lontaran “cukup Allah” yang kemudian dilemparkanlah Nabi Ibrahim ke gunungan api yang diiringi gempitanya sorak sorai tepuk tangan rakyat Namrud serta celaan dan umpatan kepada diri Nabi Ibrahim. Ditunggu 1, 2 hingga 3 bulan baru api itu padam yang kemudian coba dicari debunya untuk diabadikan namun ternyata ketika dikuak Nabi Ibrahim sedang tertidur lelap di atas tempat tidur yang berasal dari surga yang dibawa oleh para petugas Allah.

Dan peristiwa ini diabadikan oleh Allah dalam AlQuran Surat Al-Anbiya ayat 69
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
Artinya: Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim",

Yang terbakar dari diri Nabi Ibrahim cuma ikatan tambang di tangan dan kaki. Kenapa Nabi Ibrahim dibantu oleh Allah hingga api itu jadi dingin? Karena Nabi Ibrahim merasa cukup hanya dengan Allah semata hidupnya. Ketika manusia tidak merasa cukup membantu lalu siapa yang memberikan kecukupan?

bersambung ........

Wallaahu a'lam bishshawwaab
Penulis : Adam Qosim Kosasih Natsir | Editor: Madyo Sasongko

Bandung, 12 Juni 2020
Referensi:
1. AlQuran Surat Al-Muzammil ayat 9
2. AlQuran Surat Al-Anbiya ayat 69
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url